- Lee Jonghyun CNBLUE
- Shin Jihyeon [fiktif]
- Jung Yonghwa CNBLUE
- Jung Iseul [fiktif]
- Kang Minhyuk CNBLUE
Lagi-lagi mereka menunggu di depan ruang ICU. Jihyeon akhir-akhir ini sering kolaps dan terpaksa bolak-balik masuk ruang ICU.
Lama menunggu, akhirnya Yonghwa keluar. Jonghyun menghampirinya. Namun saat Jonghyun bertanya mengenai keadaan Jihyeon, Yonghwa hanya diam dan berlalu menuju ruangannya. Jonghyun, Minhyuk, dan Iseul menatap aneh Yonghwa yang kini sedang berjalan membelakangi mereka.
Beberapa menit kemudian, Eunjin, Hanyoung dan Daehyun keluar seraya mendorong tempat tidur Jihyeon. Jihyeon sendiri sedang terlelap akibat obat penghilang rasa sakit [[haha ngasal banget]]
***
“Annyeong, Jihyeon!” sapa Jonghyun begitu muncul di kamar Jihyeon. Jihyeon yang sedang asik membaca komik yang dibawa Minhyuk tadi pagi terlonjak kaget.
“Oppa? Annyeong!”
Terus terang Jihyeon sendiri sebenarnya tidak ingin Jonghyun datang karena mengingat kejadian kemarin yang terjadi secara tiba-tiba di depan Jonghyun. Takut kalau Jonghyun akan kasihan padanya.
“Kau sudah sehat rupanya.”
“Ya begitulah, seperti yang kau lihat.”
Jonghyun duduk di kursi samping tempat tidur. Ditatapnya yeoja yang kini sibuk membaca tulisan demi tulisan di komik yang digenggamnya. Jonghyun merasa kedatangannya kali ini tidak diinginkan. Sejak tadi sikap Jihyeon acuh pada Jonghyun.
“Kau sedang baca apa?” tanya Jonghyun basa-basi.
“Kan kau bisa lihat sendiri,” jawab Jihyeon acuh.
Basa-basi Jonghyun sepertinya gagal. Jonghyun merasa ada yang aneh pada Jihyeon.
Lama mereka terdiam. Jonghyun hanya pura-pura sibuk dengan ponselnya, sesekali melirik Jihyeon yang masih sibuk dengan komiknya. Jihyeon sendiri sebenarnya dari tadi tidak membaca komik sejak Jonghyun datang. Hanya saja dia merasa harus melakukan ini.
Jihyeon ingin sekali Jonghyun pergi tapi bingung bagaimana cara mengusirnya tanpa ketahuan niatannya sedikitpun. Dan tiba-tiba Jihyeon mengingat sesuatu.
“Oppa, bukannya sebentar lagi ada kuliah?”
“Bagaimana kau tau?”
“Tadi pagi Inseul eonni kemari.”
“Jinjja? Untuk apa yeoja gila itu ke sini?”
“Ya! Sudah kubilang jangan menyebutnya yeoja gila!” kata Jihyeon datar. “Sebaiknya oppa kuliah sana!”
Jonghyun menghela nafasnya. Keberadaannya kini benar-benar tidak diinginkan.
“Ya sudah, aku pergi. Mianhae!”
Jonghyunpun pergi. Kini Jihyeon yang menghela nafasnya, merasa lega. Rasa sedih tergambar jelas di wajah Jihyeon.
Mianhae, oppa! Satu-satunya jalan adalah menjauhimu. Aku ingin kau cepat melupakanku, kalau bisa sebelum aku pergi.
Jonghyun berjalan malas di lorong rumah sakit. Belum pernah dia merasa tidak diinginkan Jihyeon seperti tadi. Pikiran-pikiran masih berkelebat di kepalanya hingga dia menyadari kalau sekarang dia berada di depan ruangan Yonghwa.
TOK TOK TOK!
“Masuk!” teriak Yonghwa dari dalam. Jonghyunpun membuka pintunya perlahan
“Ah, kau Jonghyun-ssi! Ayo masuk!”
Jonghyun menurut. Pintu ditutup kembali olehnya lalu duduk di seberang Yonghwa.
“Apa kabar? Aku tidak melihatmu beberapa hari ini. Baru melihatmu kemarin.”
“Aku... aku sibuk dengan tugas-tugasku.”
Yonghwa hanya mengangguk, pura-pura paham akan kesibukan Jonghyun. Nyatanya Yonghwa tau kalau Jonghyun sedang berbohong, adiknya selalu terbuka pada Yonghwa dan tidak segan-segan menceritakan semua hingga detail-detailnya. Namun Yonghwa tidak terlalu diambil pusing. Menurutnya, mungkin ada sesuatu yang tidak ingin diketahui Yonghwa.
“Dokter, boleh aku tau keadaan Jihyeon?”
“Keadaannya baik-baik saja!”
“Ani! Maksudku keadaan yang sebenarnya. Tolong jangan berbohong padaku dokter. Akhir-akhir ini dia sering kolaps secara mendadak. Aku yakin sekali keadaannya tidak baik-baik saja!”
Yonghwa menghela nafas panjang. Diapun sempat bingung, apakah harus menjelaskan yang sebenarnya atau tidak. Namun Yonghwa memilih opsi yang pertama.
“Keadaannya sangat tidak baik. Sebelumnya kakekku sudah pernah memprediksikan ini dan ternyata terjadi. Jantungnya sudah rusak parah. Terlalu sering dioperasi di masa lalu malah membuat jantungnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dan...”
“Dan apa dok?”
“Jihyeon hanya bisa bertahan kurang dari satu bulan.”
Serasa ada batu yang terlempar tepat di kepala Jonghyun. Tidak. Lebih tepatnya sebuah pisau yang menancap tepat di jantungnya. Bagaimana mungkin orang yang kini statusnya telah naik pangkat –dari suka-menjadi cinta hanya berumur tinggal satu bulan. Dia tidak mau kehilangan orang yang berhasil membuat jantungnya berdetak dengan cepat. Yeoja yang mampu membuatnya penasaran di awal pertemuan.
“Apa tidak ada cara lain untuk menyembuhkannya?” tanya Jonghyun. Dia berusaha menahan air matanya untuk tidak jatuh.
“Satu-satunya hanya transplantasi jantung. Awalnya aku menemukan satu pendonor yang menawarkan jantungnya. Dia sakit keras dan diusianya yang hanya tinggal menghitung hari dia berniat mendonorkan jantungnya dengan syarat kalau dia benar-benar akan meninggal. Namun siapa sangka keajaiban datang. Orang itu sembuh dan tidak mungkin aku memaksanya untuk mendonorkan jantungnya.”
Setelah Yonghwa bercerita panjang lebar, kesunyian menyelimuti ruangan praktek Yonghwa.
“Kalau begitu gunakan jantungku saja.”
“Mworago?”
“Jantungku, dok! Aku rela!”
“Bicara apa kau? Kau pikir semudah itu mendonorkan jatungmu? Kau tidak akan hidup lagi. Pikirkan orang-orang di sekitarmu. Lagipula, jantungmu belum tentu cocok dengan Jihyeon.”
“Kalau begitu periksa aku, dok!”
Jonghyun berdiri dan kemudian membungkuk di depan Yonghwa yang juga ikut berdiri.
“Jebal! Coba periksa aku. Siapa tau jantungku cocok!”
“Jonghyun-ssi... Aku...”
“Jebal..!”
Jonghyun kali ini berlutut. Dan air mata rasanya terlalu banyak untuk dibendung bagi Jonghyun hingga tetes demi tetes jatuh ke lantai.
BRAK! Pintu ruangan Yonghwa terbuka dengan kasar.
“OPPA!”
Jonghyun dan Yonghwa menoleh.
“APA-APAAN KAU, HAH? Seenaknya begitu memohon pada Yonghwa oppa.”
Jonghyun bangkit berdiri dan berjalan ke pintu.
“Jihyeon-ah...” Jonghyun berusaha menggenggam lengan Jihyeon tapi keburu ditepis.
“Jangan sentuh aku!”
“Mianhae, Jihyeon-ah! Tapi kau harus sembuh!”
“Lalu kau? Aku sembuh dan kau mati? BEGITU?”
Ingin sekali Yonghwa menengahi, tapi rasanya berat sekali untuk melakukannya.
“Kalau kau masih berniat mendonorkan jantungmu, jangan harap aku mau bicara lagi denganmu. Dan jangan harap aku akan suka memakai jantungmu itu!”
Jihyeon berlalu dari ruangan itu, berlari seraya mengusap matanya yang sedari tadi sudah basah.
“Kau sudah dengar kan, Jonghyun-ssi?” kata Yonghwa angkat bicara. “Sebaiknya kau susul dia dan bicara padanya.
Jonghyun hanya terdiam. Kemudian dia pergi dari ruangan Yonghwa tanpa pamit pada si pemilik ruangan.
Jonghyun membuka pintu kamar Jihyeon perlahan, tanpa menunggu aba-aba masuk dari Jihyeon. Dilihatnya sosok yeoja kurus itu sedang memandangi taman melalui jendela kamarnya.
“Jihyeon-ah!”
Jihyeon tidak menjawab. Dia masih berdiri tanpa berbalik menghadap Jonghyun. Jonghyunpun berjalan menghampiri Jihyeon.
“Mianhae, Jihyeon. Jeongmal mianhae!” kata Jonghyun lirih. Jihyeonpun berbalik dan bisa melihat bulir air mata yang jatuh satu-persatu dari pelupuk mata Jonghyun.
“Wae, oppa? wae?”
“Aku hanya mau kau selamat hanya itu.”
“Berikan aku alasan yang logis, oppa! hanya itu saja tidak cukup. Kau hanya temanku. Kenapa, oppa?” tanya Jihyeon terisak.
Dan entah setan mana yang berbisik pada Jonghyun, tiba-tiba saja Jonghyun berjalan mendekati Jihyeon dan memeluknya erat.
“Aku hanya tidak mau kau pergi, Shin Jihyeon. Lebih baik aku yang mati dari pada kau.”
Tangan Jihyeon masih menggantung bebas, tidak membalas pelukan Jonghyun. Saat ini dia menunggu Jonghyun mengatakan sesuatu.
“Saranghaeyo, Shin Jihyeon!” ucap Jonghyun. Dia membenamkan wajahnya di bahu Jihyeon dan membasahi kaos biru yang Jihyeon pakai.
Tangan Jihyeon bergerak. Membalas pelukan Jonghyun.
“Nado, oppa. Nado!”
Tangis mereka berdua pecah hingga hanya suara tangisan mereka yang terdengar jelas di kamar Jihyeon.
Jonghyun sedikit melonggarkan pelukannya lalu menatap mata Jihyeon lekat. Wajahnya mendekat hingga bibir mereka saling bertautan.
Cukup lama mereka berciuman. Tanpa sadar sepasang mata sedang menyaksikan aksi mereka berdua. Tidak mau mengganggu, Iseul kembali menutup pintu dengan sangat pelan.
Iseul meletakkan sebuah parsel buah tepat di depan pintu kamar Jihyeon kemudian berjalan entah ke mana dengan mata yang basah.
Aku ikhlas! Kau memang bukan untukku, Jonghyun!
“Waeyo, noona?” tanya Minhyuk yang baru datang. Iseul menyuruh Minhyuk untuk datang menemuinya di pinggir danau dekat rumah sakit. Begitu mendapat pesan itu, Minhyuk bergegas dan mengayuh cepat sepedanya menuju tempat yang menurutnya dekat dengan tempat tinggalnya.
Tanpa Minhyuk duga Iseul memeluknya dan menangis sejadi-jadinya.
“Jangan berpikiran macam-macam! Aku hanya ingin meminjam dadamu sebentar,” kata Iseul dibalik tangisnya.
“Ye, ara! Menangislah sepuasmu, noona!”
Minhyuk dan Iseul duduk di bangku kayu yang ada di pinggir danau. Sekitar setengah jam mereka hanya berdiam diri. Setiap Minhyuk ingin membuka suara, pasti iseul melarangnya.
“Noon...”
“Kataku kan diam, Minhyuk! Aku belum tenang!”
Minhyuk hanya menurut.
Lima belas menit berlalu.
“Minhyuk-ah, gomawo!”
“Kau sudah tenang?”
“Kalau aku sudah mulai bicara berarti aku sudah tenang!”
“Ah, ya kau benar.”
“Yang tadi itu, kau jangan salah tangkap maksudku.”
“Ara! Kau mana mungkin menyukaiku.”
Flashback
“Noona, aku... aku menyukaimu.”
“Apa?”
Semburan angin kencang menghantam mereka berdua.
Selesai acara wisuda kelulusan anak kelas 3 –termasuk Iseul-, Minhyuk menarik tangan Iseul dan menuntunnya ke atap sekolah.
Minhyuk menyukai Iseul yang merupakan teman masa kecil sekaligus teman satu sekolah Minhyuk sejak sekolah dasar hingga SMA.
“Saranghae, noona.”
Iseul terkejut dengan pengakuan cinta Minhyuk.
“Jangan bercanda, Minhyuk-ah!” seru Iseul.
“Aku tidak bercanda!”
Kini Iseul gelagapan, bingung harus menjawab apa. Ingin menolaknya, tapi dia tidak mau menyakiti hati Minhyuk. namun iseul tidak menyukai Minhyuk. Baginya, Minhyuk adalah sosok adik yang selalu dia idam-idamkan.
“Mianhae, Minhyuk! Aku sudah menganggapmu sebagai adikku sendiri. Kau juga teman terbaikku. Lagipula, pikirkan perasaan kakak-kakak kita.”
Minhyuk hanya terdiam mendengar jawaban Iseul. Dia memikirkan Eunjin yang kini sedang menjalin hubungan khusus jarak jauh dengan Yonghwa -kakak Iseul-. Dia tau kakaknya itu mencintai namja yang lebih muda 5 tahun itu.
“Minhyuk? mianhae!”
“Gwenchana, noona! Hmm kita masih berteman, kan?”
Iseul hanya tersenyum masam.
Flashback end
Setelah hari kelulusan itu, Iseul dan Minhyuk tidak pernah bertemu lagi hingga pertemuan tak disengaja dua minggu yang lalu, saat Iseul beserta teman-teman seangkatannya datang ke sekolah untuk menyemangati adik-adik kelasnya yang akan menghadapi ujian kelulusan. Itupun mereka hanya saling sapa, tidak berbicara sama sekali. Iseul memang sengaja menghindar dari Minhyuk. Iseul sendiri tidak menyangka sikap kasih sayangnya yang dia tunjukkan selama ini pada Minhyuk ternyata telah disalahtafsirkan.
“Noona, betul sudah tenang? Kenapa wajahmu masih murung begitu?”
Iseul tidak menjawab pertanyaan Minhyuk.
“Kau bisa meminjam bahuku dan kembali menangis sepuasmu.”
Minhyuk menunjukkan senyum termanisnya. Iseulpun memberi respon dengan tersenyum dan menyenderkan kepalanya di bahu Minhyuk seraya kembali meneteskan air matanya.
Teruslah begini, noona! Aku sangat senang kau ada di dekatku lagi.
***
Jonghyun mengupas jeruk yang ada di meja, tapi matanya hanya menatap Jihyeon yang juga sedang menatapnya.
“Oppa lihat-lihat, apa sih?” tanya Jihyeon salah tingkah.
“Ani!” ujung bibirnya terangkat sehinggal lesung pipi sebelahnya muncul.
“Jeruknya enak, dari siapa ya?”
“Mwolla! yang pasti dia orang baik.”
Jonghyun kembali mengupas jeruk.
TOK TOK TOK!
“Annyeong! Ada Jonghyun! Kami tidak mengganggu, kan?” goda Hanyoung.
“Eonni, mengganggu apa sih?”
“Ganggu yang sedang pacaran, kekeke,” Daehyun terkekeh.
“Kalian berdua kenapa sih datang-datang malah menggodaku?” Jihyeon kembali salah tingkah. Bisa dipastikan wajah Jonghyun dan Jihyeon memerah.
Semalam Jihyeon menceritakannya pada Hanyoung dan Daehyun, minus Eunjin yang tiba-tiba menghilang.
“Eunjin eonni mana?” tanya Jihyeon mengalihkan pembicaraan.
“Mwolla, dia menyuruhku dan eonni ke sini.”
“Annyeong!”
Muncul dua orang dari balik pintu, Iseul dan Minhyuk.
“Kalian datang berdua?” tanya Jonghyun seraya menaikkan sebelah alisnya.
“Seperti yang kau lihat,” jawab Iseul cuek.
“Di mana Eunjin noona,” tanya Minhyuk. Mereka semua –kecuali Iseul- hanya mengangkat bahu mereka masing-masing.
“Annyeong!” sapa seorang namja lainnya yang hanya menunjukkan kepalanya di pintu.
“Dokter? Kau disuruh Eunjin kemari juga?” tanya Daehyun.
“Ani, justru aku yang menyuruh Eunjin untuk mengumpulkan kalian di sini. sudah berkumpul semua?”
Tidak ada satupun yang menyahut. Yonghwa menghilang dari pintu dan dari dalam terdengar suaranya yang sepertinya sedang berbicara pada seseorang.
“Ayolah! Kapan lagi kau akan menutupinya. Kajja!”
Yonghwa masuk ke dalam kamar dan ternyata ada Eunjin di belakangnya. Semua –kecuali Iseul dan Minhyuk- terkejut begitu melihat Yonghwa menggandeng erat jemari Eunjin.
“Hey, hey, ada apa ini? Kalian mau bilang kalau kalian pacaran juga?” Hanyoung berspekulasi.
“Lebih dari itu, noona!” sahut Minhyuk.
“Hah? Maksudnya?”
“Minhyuk-ah, biar noona mu saja yang menjelaskan!” seru Yonghwa. “Ayo katakan!”
Eunjin masih terdiam. Raut wajahnya jelas tergambar kalau dia ingin mengatakan sesuatu yang serius namun sulit untuk di katakan.
“A...aku...”
“Kami...!” Yonghwa tampak memperbaiki ucapan Eunjin.
“Ka...kami...kami...”
Tiba-tiba Eunjin terdiam. Semua menunggu.
“Kami...”
“Noona, apa susahnya sih bilang kalian ingin menikah?” tanya Minhyuk santai.
Semua pandangan kini mengarah pada Minhyuk. Pandangan Eunjin tajam mengarah ke adiknya sendiri.
“MENIKAH?” tanya semua serempak. Dan ini membuat wajah Eunjin mulai memerah.
Jihyeon duduk di atas rerumputan hijau, memandangi kota Seoul dari taman rumah sakit. Di sampingnya ada Jonghyun yang juga ikut duduk di sampingnya.
“Eunjin noona akan menikah. Aku hanya tidak menyangka kalau pasangannya adalah dokter Yonghwa.”
“Ck, Eunjin eonni itu pemalu tingkat akut. Sudah lama dia menjalin hubungan dengan oppa, tapi baru diberi tau sekarang.”
“Tapi kupikir mereka pasangan yang serasi. Mereka teman masa kecil dan berakhir dengan menikah. Jarang ada pasangan yang begitu.”
“Kau benar, oppa!”
Kemudian mereka hanya terdiam. Tidak ada suara lagi yang keluar dari mulut mereka hingga Jonghyun mengatakan sesuatu yang mengejutkan.
“Mau menikah denganku?”
Saking terkejutnya, mulut Jihyeon menganga lebar.
“Jihyeon?”
Jihyeon tidak menyadari panggilan Jonghyun.
“Haha, jangan bercanda, oppa!”
“Ani! Aku serius!”
Jonghyun bangkit berdiri dan menuntun Jihyeon untuk berdiri juga. Tiba-tiba saja Jonghyun berlutut di depan Jihyeon, bertumpu pada sebelah lututnya. Kemudian meraih sebelah tangan Jihyeon.
“Shin Jihyeon, would you marry me?”
Jihyeon dihadapkan dengan dua pilihan. Yes or no. Yes, tapi tiba-tiba saja dia ingat akan umurnya yang pendek. No, tapi dia juga mencintai Jonghyun dan tentu saja ingin sekali menikah dengan Jonghyun.
“Y...y...”
Baru saja Jihyeon ingin menjawab, rasa sakit menusuk itu datang kembali. Dada kirinya terasa tertusuk-tusuk hingga tangan yang digenggam Jonghyun dengan spontan ditariknya lalu menekan dada kirinya kuat-kuat.
“Jihyeon?? Jihyeon? Gwenchana?” tanya Jonghyun panik.
Jihyeon tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Jonghyun. Rasa sakit mampu mengalihkan pendengarannya. Dan darah segar tiba-tiba saja mengucur deras dari hidung Jihyeon.
Tanpa berbasa-basi Jonghyun menggendong tubuh Jihyeon seraya berteriak meminta tolong.
***
Sudah 4 hari Jihyeon terbaring di tempat tidurnya. Alat-alat yang sudah lama tidak digunakan, kini dinyalakan seluruhnya. Selang infus tertancap dipunggung telapak tangan kirinya. Selang oksigen terpasang di hidungnya. Elektrokardiograf masih menunjukkan garis yang terus naik-turun, menunjukkan jantung Jihyeon masih bekerja walaupun tidak sebagaimana mestinya.
Yonghwa telah menghubungi orang tua Jihyeon yang sedang berada di benua tetangga. Dan merekapun mengambil penerbangan malam ini karena badai salju yang terpaksa menunda keberangkatan pesawat yang semestinya berangakat tiga hari yang lalu.
Jonghyun masih setia menunggu di kamar Jihyeon, menatap paras pucat Jihyeon. Dan entah kenapa sejak beberapa hari yang lalu selalu muncul perasaan yang kurang mengenakkan hatinya. Dia berusaha menepis perasaan itu dan menganggapnya hanya perasaan khawatirnya pada Jihyeon.
“Eng...” tiba-tiba Jihyeon meracau tidak jelas.
“Jihyeon?”
Ini pertama kalinya Jihyeon mengeluarkan suara sejak dirinya dinyatakan koma.
Jemari Jihyeon bergerak dan matanya perlahan-lahan terbuka.
Rasa sakit menusuk itu masih bisa Jihyeon rasakan. Namun dia berusaha menyembunyikan itu agar Jonghyun tidak khawatir dengannya.
“Kau sudah sadar, Jihyeon! Syukurlah!”
Jonghyun menggenggam erat tangan dingin Jihyeon. Sebelah tangannya ingin menekan tombol pemanggil tapi keburu dicegah Jihyeon.
“Oppa..” kata Jihyeon lirih sambil menggeleng kepalanya lemah.
Jonghyun kembali duduk, menatapi sosok yeoja yang kini sudah sadar sepenuhnya.
“Apa kau sudah merasa baikan?”
“Belum pernah aku merasa sebaik ini, oppa.”
Tangan bebas Jonghyun membelai rambut Jonghyun kemudian mengelus pipi halus Jihyeon.
“Jihyeon-ah, kau pasti sembuh!” kata Jonghyun meyakinkan. Dia sendiri masih tidak yakin apakah ada pendonor yang bersedia mendonorkan jantungnya.
“Hahaha, aku memang akan lepas dari penyakit ini oppa. tanpa pendonor sekalipun,” Jihyeon berusaha tertawa.
Jonghyun merasa ada yang aneh dari ucapan Jihyeon.
“Jihyeon-ah...”
“Oppa, terima kasih karena kau sudah mau mengisi hari-hariku dan terima kasih karena kau sudah mencintaiku, oppa. Jeongmal saranghae.. Tapi sepertinya kita tidak berjodoh.”
“Jihyeon-ah, kenapa kau bicara begitu. Kau harus yakin kau bisa sembuh.”
Jihyeon berusaha bangkit dari tidurnya, ingin mendudukan dirinya. “Bisa bantu aku, oppa?”
Jonghyunpun membantu Jihyeon.
“Aku bukan yeoja yang diciptakan untuk bersanding denganmu, oppa!”
“Jihyeon...”
“Yeoja itu sangat mencintaimu dan aku yakin kalau dialah jodohmu kelak. Kau hanya tinggal peka pada orang di sekitarmu, oppa.”
Seulas senyum manis terbentuk di bibir Jihyeon. Rasa sakit itu masih ada, bahkan rasanya seperti tertusuk makin dalam. Jihyeon berusaha tampak seperti tidak merasa apa-apa.
Tangan Jihyeon meraih pipi Jonghyun dan menariknya mendekat ke wajahnya. Awalnya Jihyeon ingin mengecup sekilas, tapi entah kenapa Jihyeon melumat habis bibir Jonghyun. Mereka bisa merasakan air mata mereka yang membasahi pipi dan bibir mereka.
Jihyeon memeluk erat tubuh Jonghyun, begitu pula Jonghyun.
“Saranghaeyo, op...oppahh, hh hhh!”
“Nado, nomu saranghae.”
Jonghyun membenamkan wajahnya di bahu Jihyeon, membasahi pakaian yang dikenakan Jihyeon dengan air matanya.
Jonghyun memeluknya erat hingga tak menyadari kalau jihyeon sudah tidak memeluknya lagi. Kedua tangan Jihyeon menggantung bebas. Dia bisa merasakan tekanan badan Jihyeon.
“Jihyeon-ah, ireona!” Jonghyun menepuk-nepuk pipi Jihyeon.
“Jihyeon? Shin Jihyeon?”
Jonghyun merebahkan tubuh Jihyeon. Mata Jihyeon tertutup rapat.
Namja itu baru sadar kalau garis di elektrokardiograf telah berubah menjadi garis lurus horizontal.
Jonghyun hanya menangis sejadi-jadinya melihat Jihyeon sudah tidak bernyawa.
***
Jonghyun pov
Setelah hampir satu jam prosesi di lakukan, kini hanya tinggal orang-orang terdekat Jihyeon yang masih setia menunggu di sini.
Kulihat sepasang suami istri yang berdiri di seberangku. Sang istri masih saja menangis lirih sedangkan suaminya berusaha menenangkan diri istrinya. Tergambar jelas rasa penyesalan di diri mereka. Menyesal meninggalkan Jihyeon hingga detik-detik kepergian anaknya.
Kami semua sangat tidak menyangka jika kepergian Jihyeon akan secepat ini. Dokter Yonghwa terus meminta maaf karena tidak bisa memprediksi dengan tepat. Kau tidak salah dok, ini semua kehendak Tuhan.
Bisa kurasakan sebuah tangan menyentuh bahuku.
“Uljima!” katanya dengan khas suara beratnya.
“Gwenchana, appa!” sahutku seraya mengusap mataku.
Appa adalah kerabat dekat orang tua Jihyeon. Aku baru mengetahuinya tadi. Dan betapa terkejutnya aku setelah mengetahui kalau yeoja yang akan dijodohkan denganku adalah Jihyeon. Rasa penyesalan itu datang hingga sekarang.
Pertemuan kita sangat singkat, Shin Jihyeon. Kau cinta pertamaku dan aku tidak akan melupakanmu. Kau yeoja pertama yang mampu menyita perhatianku. Kau yeoja pertama yang mampu membuat tidurku tidak nyenyak. Kau yeoja pertama yang merasakan ciuman pertamaku.
“Jonghyun,” kini tangan eomma menyentuh sebelah bahuku yang lainnya.
Eomma menarikku menjauh dari kerumunan, appa juga mengikuti kami. Aku tidak tau mereka mau membawaku ke mana. Namun tidak jauh dari tempat peristirahatan Jihyeon, terdapat sebuah gundukan tanah yang ku yakin adalah milik ibu kandungku.
“Eonni, aku membawa putramu. Lihat, dia sudah tumbuh menjadi pria tampan sekarang.”
-END (???)
Sebenarnya beluman tamat sih, masih ada satu part lagi. Epilog. Pemanis dari Muffin Of Love, ending pas nya.
Eh kalo aku pikir-pikir kok judulnya lama-lama ga nyambung ya??? KKKKKKKKKKKK
huaaahh huuaaahh .. terharu biru baca endingnya
ReplyDeleteromatis banget waktu last kiss nya .. ihiikkss
waee masih ada pemanisnya ? ... #penasaran nih
Hiks...hiks... so sweet...
ReplyDeletesedih banget baca ending ma last kiss nya... T-T
Jihyoen cepet banget perginyaa T__T
ReplyDeleteendingnya romantis ~~
epilognya jangan lama lama ya thor ~~
sedih onn, aku kira jonghyun jadi donorin jantungnya :(
ReplyDeleteepilognya jangan lama-lama ya onn
Sedihnya.. Hiks.. Kirain bakal sembuh :'(
ReplyDeletekan kan kan ujungnya gini huwaaa kasian abang Jonghyun :'OOO
ReplyDeleteterkutuklah kau appa umma nya jihyeon /pletak
*gakmau bahas yongjin nikah* *malu* *yongjin???
tinggalin jejak, terbang ke epilog~~~