- Shin Jihyeon (fiktif)
- Lee Daehyun (fiktif)
- Park Hanyoung (fiktif)
- Kang Eunjin (fiktif)
Cuaca yang sangat indah. Matahari tidak terlalu terik. Cuaca yang sangat bagus untukku berjalan-jalan. Tidak sia-sia aku menyelinap keluar dari ‘kandang’.
Ke mana aku sebaiknya? Ke danau seperti biasa? Ah, bosan! Myeongdong? Ide yang bagus.
Kususuri toko-toko yang ada di Myeongdong, terutama aksesoris. Ya, aku suka aksesories, hmm lebih tepatnya warna-warni. Rasanya memandang sesuatu yang berwarna-warni membuat diriku bahagia. Haha, aneh ya?
Hingga ada sebuah toko yang sangat menyita perhatianku. Dari luar tampak membuatku penasaran, dengan replika besar muffin-muffin lucu berwarna-warni bertengger di depan toko. Langsung saja aku memasuki toko tersebut.
KLING KLING *bunyi lonceng begini ga si?* Terdengar bunyi lonceng begitu aku membuka pintu. Hawa sejuk menjalar di sekujur tubuhku. Aroma wangipun tercium. Bukan wangi parfum atau sejenisnya. Wangi kue. Wangi yang paling aku suka. Dengan segera kuambil baki putih yang sengaja diletakkan di dekat pintu, tak lupa juga pencapitnya.
Kumainkan pencapit sambil menyusuri rak-rak berisi kue muffin berbagai rasa, warna, dan bentuk. Omona... Rasaya aku ingin mengoleksinya, hahaha. Lebih cocok dijadikan pajangan ketimbang dimakan. Nomu kyeopta.
Tapi aku ingin mencicipinya. Alhasil, baki yang kupegang sudah berisi penuh kue muffin rasa keju, coklat, strawberry, blueberry, dan kacang almond. Dan tentu saja aku mengambilnya berwarna-warni, ada merah, ungu, biru, cokelat, dll.
Dirasa cukup, aku membawanya ke kasir.
“Agashi, banyak sekali muffin-nya? Kau tidak berniat memakannya sendiri kan?”
“Tentu saja tidak, ini juga untuk eonni-eonni ku. Tapi kalau mereka tidak mau, ya aku habiskan, kekeke,” aku dan si kasir pun terkekeh.
“Siapa namamu nak? Aku merasa kau akan jadi pelanggan setiaku. Ah, panggil saja aku ahjumma.”
“Naneun Shin Jihyeon imnida,” kataku lalu membungkuk hormat pada ahjumma.
“Nama yang cantik, sesuai orangnya,” puji ahjumma. Rasanya hangat sekali didekatnya. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan ini.
“Kenapa ahjumma yakin sekali aku bakal jadi pelanggan setia?”
“Kau akan tau jawabannya,” katanya sambil mengedipkan sebelah matanya. Orang yang sangat ‘friendly’. Ya itu memang harus. Tidak mungkin kan seorang kasir bersikap tidak ramah pada pembeli? Yang ada orang takut ke toko itu.
Eh? Ahjumma ini hanya seorang kasir atau bukan ya?
“Aku ini pemilik toko sekaligus kasir, Jihyeon-ah.”
Mataku membulat. “Kok ahjumma tau aku sedang memikirkan itu?”
“Aku ini bisa membaca gerak tubuh seseorang, istilahnya body language lah.”
“Waw! Bakat yang hebat.”
“Hey, non, bisa tidak ngobrolnya diteruskan nanti?” tanya seorang namja yang ternyata sedari tadi mengantre di belakangku. Ah paboya, keasikan ngobrol.
“Mianhamnida!” kataku pada namja itu.
“Sudah, sudah. Jihyeon-ah, ini pesananmu.” Akupun mengambil uang dari dompetku dan memberikan sejumlah uang yang senilai dengan harga-harga muffin itu. “Anyeong, ahjumma.” Ahjumma membalasku denga senyuman manisnya. Nomu yeppoda. Ah, andai dia ibuku.
Rasanya aku lelah, sebaiknya aku kembali dari pada eonni-eonni ku marah kalau tau aku kelelahan. Kebetulan ada taksi kosong yang menepi. Langsung saja aku masuk ke dalam.
“Ke Jenjju ya,” kataku pada supir taksi yang sudah pasti mengetahuinya. Mobilpun melesat pergi.
Pergi mengendap-endap, sudah pasti pulang mengendap-endap. Tapi percuma saja, sudah ada Hanyoung, Eunjin dan Daehyun di kamar. Mereka adalah eonni ku.
“Ya, Jihyeon-ah, sudah berapa kali kubilang jangan keluar tanpa seizin kami,” kata Hanyoung eonni marah-marah. Hanyoung eonni kalau marah makin cantik.
“Abis kalau aku minta izin, pasti kalian tidak izinkan.”
“Tapi kau membuat kami khawatir,” Eunjin eonni dan Daehyun eonni menghampiriku lalu mengecek keadaanku. “Syukurlah, tidak apa-apa,” kata Daehyun eonni mendesah lega.
“Ya! aku sudah 17 tahun, aku bisa menjaga diri sendiri.”
Hanyoung eonni menghampiriku lalu mengelus rambut sebahuku. “Umur bukan jaminan, siapa yang tau kalau nanti kau bakal terjadi apa-apa? Lain kali kalau mau keluar, kasih tau kami. Bagaimanapun kami harus menemanimu. Kami sangat menyayangimu, kami tidak mau hal itu terjadi lagi. Arasso?”
“Ye..”
Inilah yang kusuka dari Hanyoung eonni. Emosinya cepat padam dan dia akan kembali lembut. Orang yang paling kusuka.
“Kau bawa apa? Makanan ya?” tanya Daehyun eonni.
“Ah, eonni yang satu ini tau aja kalau aku bawa makanan.”
“Bukannya begitu. Kau tidak boleh makan sembarangan.”
“Ara! Makanya aku bungkus. Tapi muffin-muffin ini lucu-lucu sekali.”
Eunjin eonni keluar dari kamar dan tak lama kembali membawa piring. Dia meletakkan muffin-muffin itu ke atas piring.
“Omo... kyeopta... sayang sekali kalau dimakan. Kue-kue ini lucu sekali,” kata Hanyoung eonni sambil menatap muffin-muffin itu.
“Aku juga berpikiran begitu, eonni. Aku malah berniat memajangnya di kamarku, haha.”
“Tapi bagaimanapun ini kue. Takdirnya adalah untuk dimakan. Kau tau apa isi hati kue ini? ‘Makan aku, makan aku’ “, suara Eunjin eonni berubah seperti anak kecil, “Karena itulah kue ini dibuat semenarik mungkin.”
“Eunjin-ah, bilang saja kau mau makan kue ini,” seru Daehyun eonni.
“Eh, emang ketara banget ya?”
“Eonni ini kan penggila kue, mana mungkin mengabaikan muffin selezat ini,” timpalku.
Eunjin eonni menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Eonni suka sekali kue. Walaupun banyak kue yang masuk ke perutnya, badannya tidak melar-melar. Lain dengan Daehyun eonni. Makanya hanya Daehyun eonni yang tidak mencicipinya. Dia benar-benar menjaga pola makan sehat. Mulai dari porsi sarapan, kapan seharusnya kita ngemil, dan sebagainya. Aku saja kewalahan dengan aturan itu. Ya, aku harus mengikuti jejak Daehyun eonni, mau tidak mau, wajib.
“Sudah puas untuk hari ini? Kalau begitu kau tau kan apa yang harus kau lakukan sekarang?” tanya Hanyoung eonni.
“As usual,” kataku sambil memutar bola mataku.
“Anak pintar!” Eunjin eonni menepuk kepalaku. Dia suka sekali menganggapku seperti anak kecil.
“YA!”
Eunjin dan Hanyoung eonni terkekeh melihat ekspresiku.
“Kalian ini! Eunjin, Hanyoung, ayo kembali. Sisa muffin ini aku bawa. Nah, anak manis, kami pergi dulu ya, kekeke,” kata Daehyun eonni menepuk kepalaku juga lalu berlari terkekeh keluar dari kamarku diikutin Eunjin dan Hanyoung eonni.
“YA! Daehyun eonni sama saja.”
Saranghae eonni.. walaupun kalian bukan saudara kandungku.
**
“Kita mau ke mana sih?” tanya Hanyoung eonni. Kami berdua kini sedang berada di dalam taksi yang meluncur ke Myeongdong.
“Ke toko muffin. Kau tadi mengirimiku sms katanya bosan. Kebetulan kau lagi off, mendingan temani aku.”
“Kau mau makan muffin lagi?”
Aku mengangguk mantap, “Abis enak banget. Aku boleh memakannya lagi kan?”
“Cih, kenapa kau baru bilang begitu kita sudah ada di sini?” Hanyoung eonni merogoh isi tas channel nya dan meraih ponsel. Hari ini eonni cantik, ditambah selera fashionnya yang tinggi sekali. Dia pandai meng-mix&match pakaian.
“Yoboseyo? Eonni... Aku sedang ada di taksi, adik kecil kita minta aku temani ke toko muffin yang kemarin... YA! aku sudah memberi tahu Eunjin, dia tidak menyampaikannya?... Oh, salahkan kesibukkanmu itu... Nah itu yang mau aku tanya, apa boleh? Kau sudah memeriksanya kan kemarin?.... oh oke, sip!” Hanyoung eonni memasukkan ponselnya ke dalam tas.
“Kau menghubungin Daehyun eonni ya?” tanyaku.
“Siapa lagi!”
“Kita sudah sampai Agashi!”
Kami berduapun turun, tak lupa membayar ongkos taksi. Kemudian kami menyusuri jalanan pertokoan Myeongdong.
“Woah, sudah lama aku tidak kemari. Ramai sekali, apa karena hari ini hari libur?”
“Nah, tidak ada ruginya kan menemaniku. Hmm mungkin.”
Aku menggandeng tangan eonni dan dengan semangat berjalan menuju toko muffin kemarin.
KLING KLING!
“Annyeong, ahjumma,” sapaku.
“Nah, benar kan kau kembali lagi? Aku sudah yakin itu.”
“Muffin buatanmu enak sekali.”
“Tentu saja. Kue itu dibuat dengan takaran yang tepat, dibuat juga sesuai standar kesehatan. Eh, muffin-muffin di sini bukan buatanku lho. Anakku yang membuat.”
“Jeongmalyo? Beruntung sekali kau memiliki anak berbakat seperti dia. Muffin nya enak sekali. Eonni ku sampai minta dibungkuskan lagi. Ah, iya, aku sampai lupa. Kenalkan, ini salah satu eonni ku.”
“Naneun Park Hanyoung imnida,” kata eonni sambil membungkukkan badannya.
“Manasso bangapsumnida. Panggil saja aku ahjumma biar akrab,” kata ahjumma dengan senyum manisnya. “Oh ya, aku akan meminta anakku untuk membuatkan muffin spesial untukmu dan juga eonni mu. Sekalian kalian berkenalan dengan anakku. Syukur-syukur bisa menjadi teman. Aku tidak mau anakku kurang pergaulan karena terus menerus asik dengan dunia muffin nya. Kalian duduk saja dulu,” tawar ahjumma.
“Tidak usah repot-repot, ahjumma. Aku mau pergi belanja, kutitipkan adik kecilku di sini ya.”
Pipiku memerah karena eonni memperlakukanku layaknya anak kecil di depan ahjumma.
“Ah, arasso! Kau memang shoppaholic sejati.”
“Eh?”
Ahjumma sudah keburu masuk ke dapur.
“Seperti yang kuceritakan kemarin, eonni. Ahjumma itu hebat. Aku sangat menyukainya.”
Eonni hanya mengangguk paham.
“Aku boleh makan muffin kan?”
“Ye, Daehyun eonni sudah memeriksanya dan kau boleh memakannya. Lagi pula muffin ini dibuat sesuai standar kesehatan, aku pikir tidak apa-apa kalau kau memakannya.”
Eonni-eonni ku selalu berlebihan walau alasannya pasti selalu saja karena demi kesehatanku.
“Kalau begitu aku belanja dulu ya. Jarang-jarang ke Myeongdong, kalau pulang tidak bawa sesuatu rasanya itu bukan Hanyoung. Kekeke! Baik-baik ya di sini, nanti aku carikan baju yang bagus. Annyeong.”
Hanyoung eonni mengecup pipiku sekilas. Aku lelah mengatakan kalau aku bukan anak kecil.
Ku edarkan pandanganku ke sekelilingku hingga mataku tertuju pada sebuah meja yang kupikir nyaman. Aku pun duduk di sana. Tak lama ahjumma muncul dan duduk di depanku.
“Kau pasti sangat senang dikelilingi orang-orang yang kau cintai, walaupun dia hanya temanmu.”
“Bagaimana ahjumma tau kalau dia bukan eonni kandungku? Kau juga bisa meramal ternyata.”
“Haha, aniyo. Kalian ini tidak ada mirip-miripnya sama sekali. Lagipula marga kalian berbeda.”
“Ah, iya, bodohnya aku. Oh ya, kok sepi banget tokonya? Cuma aku satu-satunya pengunjung.”
“Haha, jelas saja. Sekarang jam 9:40. Toko baru dibuka jam 10.”
“Jeongmal?”
“Kau tidak melihat papan kecil yang menggantung di pintu.”
Aku menengok ke arah pintu, kulihat sebuah papan bertuliskan open. Aigoo, hari ini aku bodoh sekali rasanya.
Sambil menunggu muffin matang, aku ngobrol banyak dengan ahjumma. Ahjumma tipe orang yang supel, cepat bergaul dengan orang asing. Dia juga pendengar yang baik, mau mendengar cerita-ceritaku. Tentu saja untuk yang satu itu aku skip.
Lama mengobrol, muffin spesialku datang, diantar oleh seseorang yang tak asing sepertinya.
“Ini anak ahjumma?”
“Betul!”
Aku kira yeoja.
Tunggu!
Dia...
dia siapa...???? penasaran bgt dah aku.....
ReplyDeleteayo lanjutannyaaaaaaaaaaaaaaa
ayo maunya siapa??????
ReplyDelete@mpeb onni: siapa aja deh terserah yang bikin hehe
ReplyDeletesiapa cowok nyaa ? aaah penasaran :O jangan lama2 eonni part 2 nyaa
ReplyDeleteketat banget soal makanan .. hmmm kayaknya authornya lagi diet nih ... kekekeke
ReplyDeletetuh tuh namja nya siapa ouii .. *penasaran*
Aduh, penasaran namja itu siapa. Jangan lama-lama ya chapter 2 nya.. kkkk :D
ReplyDeleteeonniii, uwaa udah lama gak meriksa blog-blogan dan baru sekarang sempet baca ff :/
ReplyDeletehiyaaa, ada namakuuuu *tunjuk-tunjuk Kang Eunjin* /dor
tau ajasih eon aku suka kue wakakak, suka makan lebih tepatnya /pletak
itu ahjumma nya misterius banget o_o itu anaknya siapa?
penasaraaan >o<
sukaa mpeb.. *baru baca ni. hehhe
ReplyDeleteiii ngeselin TBC nya -_____________-"
ReplyDeleteokelah, paiting baca lagi 8D