Sunday, April 24, 2011

a crazy woman in a dark room

Author : Kang Eunjin (@icicicaaa)

Rating : G

Genre : Angst, Family, gak jelas =_=

Cast : Anggap aja si ‘pemuda’ diperanin oleh Lee Jungshin CNBLUE. Sedangkan cast yang lain asli orang Indonesia :)

Note : Oke, ini sebenernya tugas Bahasa Indonesianya author yang disuruh buat cerpen he. Gak apa kan dipost disini? .__. Soalnya belum siap buat dikumpulin kegurunya, jadi minta komentar dari readers dulu kekeke, kalo ada salah kan ntar bisa diperbaiki hoho *licik. Dan karena ini tugas bahasa Indonesia ya jadinya latar dan casts nya di Indonesia. Kecuali pemeran utamanya. Selamat membaca cerpen gaje ini -_-


Disclaimer : jalan ceritanya jelas punyaku. Jungshin juga punyaku *dipelototin kanti eonni*. Orang gilanya punya readers aja *dibuang kelaut*





Dua laki-laki, satu pria tua dengan rambut yang seluruhnya hampir memutih, dan satu lagi pemuda berkulit putih –sepertinya bukan penduduk asli- sedang mengintip seseorang dari balik dinding kayu yang rapuh.

“Kau lihat itu? Entah dengan siapa dia berbicara.”

“Dengan siapa’? maksudmu apa? Jelas-jelas dia berbicara sendiri.”

“Kita tidak tahu. Orang gila punya kekuatan mistis.”

“Hah? Hahaha. Lelucon apa itu? Dia gila. Itu sebatas kejiwaannya saja, tidak ada kekuatan aneh apapun yang dimilikinya.”

“Kita tidak tahu. Bisa saja dia gila karena memuja setan. Lalu ia berhenti melakukan pemujaan, dan setan itu mengutuknya.”

“Pak, tapi itu hanya omong kosong dan.. Ah, sudahlah. Aku sedang tidak ingin berdebat.”

Mereka berdua meninggalkan gubuk yang berada di tepi sungai dalam hutan itu. Didalamnya, duduk seorang wanita berpakaian compang-camping, rambutnya mengembang tanda tak pernah diurus berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, disebelahnya ada sebuah piring berbau busuk yang diisi makanan oleh warga tiap pagi hari tanpa pernah mencucinya. Kepalanya menunduk lemas, ia memegang sebuah boneka yang sudah tidak jelas lagi bagaimana bentuknya. Diruangan itu, ruangan yang sunyi dan gelap, dengan keadaan kaki dipasung, ia berucap pelan dan diulang-ulang, “Aku tidak gila. Aku butuh udara. Aku butuh bayiku. Aku tidak gila. Aku butuh udara. Aku butuh bayiku…” begitulah sampai ia merasa lelah dan kemudian tertidur.

---
“Kenapa ia harus dibegitukan? Maksudku, kenapa dia dipasung? Aku rasa itu sama sekali tidak manusiawi,” Tanya pemuda berkulit putih tersebut penuh antusias. Mata sipitnya seakan mengintrogasi lelaki tua didepannya yang kira-kira berumur lima puluh tahunan itu.

“Akan lebih tidak manusiawi lagi jika aku membiarkannya dijalanan, menakuti anak-anak, mencoba memakan makanan warga seenaknya. Kau tahu, sebelumnya ia menyerang siapapun yang lewat didepannya, mengamuk!”

“Ya ampun,” pemuda itu menepuk dahinya. “Lalu, apa gunanya Rumah Sakit Jiwa?”


“Lalu, siapa yang akan membayar semua perawatannya nanti disana? Keberadaan keluarganya tidak diketahui,” Lelaki tua itu terus berkilah. Sebenarnya ia lelah menghadapi orang baru sok tahu yang duduk didepannya itu. Ia terus menjawab dengan datar, tanpa ekspresi.

“Lalu, apa gunanya kau? Kepala desa yang terhormat,” Ucap pemuda itu dengan nada merendah, namun memiliki tujuan menyindir didalamnya. Diulangnya lagi kata “lalu” sebagai tanda melawan balik kata-kata lelaki tua yang disebutnya kepala desa itu.

“Anak muda, urusanku bukan sesepele seperti yang ada di pikiranmu. Bukan itu saja yang harus kuurus. Uangku memang melimpah, tapi wargaku, istriku, anakku, mereka juga melimpah!” Lelaki tua itu mulai emosi tapi tetap berusaha untuk tenang.

“Maafkan aku, Pak. Tapi biayanya tidak akan mahal, dan kudengar itu gratis,”

“Kau mencoba membandingkan Negara ini dengan tanah kelahiranmu? Sebuah Negara berkembang dibandingkan dengan Negara maju yang elok tempatmu bermain waktu kecil dulu. Anak muda, itu sangat berbeda. Jauh sekali.” Lelaki tua mengungkit-ungkit asal pemuda itu. Dia memang bukan penduduk asli, hanya seorang pencari ilmu di negri ini. Seorang pencari ilmu yang menguasai banyak bahasa dan budaya dari berbagai Negara. “Negaramu mungkin bisa saja mengratiskan seluruh biaya kalau mereka mau. Kalian itu kaya nak! Tidak seperti disini, jangan dibanding-bandingkan lagi!” lanjut lelaki tua itu.

“Tidak, tidak sama sekali. Aku tidak punya maksud untuk membeda-bedakan itu semua,”

“Ah, terserah. Yang jelas, setahuku Rumah Sakit Jiwa akan meminta bayaran, mungkin gratis jika ada pejabat berbaik hati mengulurkan tangannya, tapi hah zaman sekarang mana ada yang seperti itu,” Kedua lelaki pendebat itu terdiam, hening. Pemuda itu akhirnya paham. Sebaiknya ia simpan saja tenaganya untuk besok. Lelaki tua menyulutkan api rokoknya dan mengehembuskan asapnya di keheningan senja saat itu.

---

“Kau tak tega padaku?”

“Aku tersiksa disini.”

“Aku hanya ingin bertemu dengan anakku.”

“Aku ingin menghirup udara bebas seperti yang kau rasakan?”

“Kau lebih mementingkan si tua egois disana dibandingkan aku wanita lemah ini?”

“Kalau kau punya hati, kau pasti menyelamatkanku.”

Lalu terdengar suara tangisan yang sangat keras, seperti suara tangis wanita tua diiringi tangisan anak bayi yang memekakkan telinga.Pemuda itu terbangun. Dia baru saja bermimpi. Wanita gila yang dipasung dalam ruangan itu membutuhkan pertolongannya. Ya, membutuhkan pertolongannya!

Pemuda itu berpikir keras. Haruskah ia menolongnya? Apa mimpi itu pertanda bahwa sebenarnya wanita itu tidak gila, apa ia begitu hanya karena ia hanya depresi. Dia depresi. Begitulah pendapat si pemuda. Orang dewasa diluar sana pasti akan mengabaikan mimpinya dan kembali tertidur nyenyak. Pemuda itu memang sempat berfikir seperti orang dewasa diluar sana. Tapi sayangnya, ia terlalu bodoh dan soktau –seperti yang dikatakan orang dewasa kepadanya- , pemuda itu melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya. Pada jam dua dinihari itu.

Pemuda ini tidak takut gelap. Tidak percaya akan hal-hal aneh atau mistis dan segala hal yang setipe dengan itu semua. Ambisi dan keingintahuannya dengan dunia membuatnya tak perduli dengan hal berbau non-dunia. Walaupun kadang perbedaan hal gaib disetiap Negara menarik perhatiannya tapi hal itu tidak akan menyurutkan prinsip hidupnya. “Hei ayolah, tidak ada yang seperti itu didunia ini. Mereka hanya orang-orang ketinggalan zaman yang tak mengerti perkembangan dunia sekarang,” begitu katanya ketika orang-orang membahas hal yang bertentangan dengan pemikirannya itu. Maka, tak peduli jam berapa sekarang. Tak perduli betapa gelapnya dinihari itu, ia terus melangkah, menuju tujuannya dihutan.

“Astaga, aku lupa membawa kunci pembuka pasung itu. Hah! Kenapa tidak aku cari dulu tadi?” ucap pemuda itu pada dirinya sendiri. Ia kebingungan namun sebuah benda teronggok didekat dinding. Sebauh gergaji tajam.

“Satu lagi kebodohan desa selain karena mereka percaya pada hal mistis, pasungan mereka mudah dibuka sebenarnya,” kata pemuda itu dengan angkuhnya. Pemuda ini memang susah ditebak, ia punya sifat angkuh, keras kepala dan agak sok tahu. Tapi dia punya kebaikan yang kadang tidak dapat diterima orang lain. Yah, kurang lebih seperti saat ini.

“Hei, apa aku menganggumu?” tanya pemuda itu saat ia sudah berada di gubuk yang gelap itu. Tidak ada jawaban. Wanita itu ternyata sedang teridur pulas dengan posisi duduk.

“Itu pasti sangat menyakitkan bukan? Tidur dengan posisi seperti itu akan membuat lehermu pegal-pegal. Apa penduduk desa ini tidak punya ibu? Tega sekali mereka memperlakukan wanita malang ini layaknya kambing dikandang. Dan bau ruangan ini? Ya ampun, benar-benar seperti kandang! Bersyukurlah nyonya, aku datang menyelamatkanmu. Setelah lepas nanti, pergilah mencari bayimu,” pemuda itu tersenyum tulus. Airmata mulai mengalir disudut matanya. Dihapusnya segera airmata itu dan memulai pekerjaan yang dia lakukan dalam keheningan dinihari itu. Hanya suara hutan yang terdengar mengiringi pekerjaan –yang menurutnya- sangat mulia itu.

Kayu penghalang tubuh wanita itu perlahan-lahan terlepas. Sang pemuda melakukannya dengan sangat hati-hati, jangan sampai melukai ataupun membangunkan wanita didepannya.

“Sempurna. Aku harus pergi sekarang. Istirahatlah dulu, esok hari berjanjilah padaku kau akan segera meninggalkan tempat gila ini,” ucap pemuda itu mengakhiri pekerjaannya. Dia pergi keluar dengan airmata mengalir deras. Apakan itu airmata kesedihan? Ntahlah, tapi yang jelas, ia menangis sambil tersenyum lega.

---

Sang pemuda merasa ada yang mengikutinya. Dia mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru hutan, tapi tidak ada siapapun disana. Tidak, ada seorang wanita berdiri disana dengan pandangan sayu.

“Ibu? Kau sudah bangun?” tanyanya sambil tersenyum tipis. Namun wanita itu tidak mengatakan apa-apa, ia justru berlari kencang kearah pemuda itu. Si pemuda hanya diam tak mengerti melihat tingkah orang yang baru saja ditolongnya. Kini tangan wanita itu sudah mencengkram erat leher si pemuda.

“Mana bayiku?!” seru wanita itu dengan mata menatap tajam sang pemuda.

“Aku tidak tahu,” jawab pemuda sedikit tercekat. “Aku bodoh, kenapa aku menyelamatkannya tadi? Apa yang baru saja aku lakukan?” bathin pemuda menyalahkan dirinya sendiri seakan-akan ada orang lain yang menguasainya ketika menolong wanita gila. Yang sekarang malah ingin membunuhnya dengan tangan kuat berkuku tajam. Sekarang dia sadar, wanita ini gila!

Sang pemuda mencoba melepaskan diri. Akhirnya ia bebas, ia berlari cepat menghindari orang gila itu. Si wanita diam saja. Dia hanya mengangkat sesuatu keatas,, ternyata itu gergaji yang dipakai pemuda tadi.
Pemuda itu takut gelap sekarang.

---

Pagi hari, warga heboh ketika menemukan wanita pasung tidak ada di tempatnya. Para pria berpencar mencarinya.

“Hati-hati, jangan biarkan anak kita diserangnya.”

“Kalau bisa kunci selalu pintu rumah, bisa saja kan dia masuk tiba-tiba dan mengambil makanan?”

"Benar kan. Dia pasti dikuasai setan. Tidak diragukan lagi."

Sedangkan disisi lain desa, warga berkumpul didepan rumah kepala desa. Menurut isu, pemuda yang tinggal dirumah itu menggigil ketakutan.

“Dia seperti umma, ternyata tidak, aku takut,” ucap pemuda itu berkali-kali tanpa menghiraukan orang-orang yang mengintipnya dari balik jendela. Disela-sela ketakutannya, ia mendengar pertanyaan orang-orang mengenai lepasnya sang wanita gila dirumah pasung.

“Iya! Aku membantunya keluar. Aku sangka ia seperti ummaku yang baik, rupanya ia seperti appa!”
“Umma? Appa?” tanya kepala desa keheranan.

“Setahuku itu panggilan untuk kedua orangtua dinegaranya. Umma untuk ibu, dan appa untuk ayah,” jawab dokter yang memeriksa pemuda itu. Dokter ini baru datang tadi pagi. Ia dapat panggilan untuk membantu kondisi kesehatan desa yang cukup terbelakang ini. Si tua kepala desa hanya mengangguk.

“Kalau aku mendengar dari kisahmu tentang keras kepalanya anak ini, dia seperti punya pengalaman buruk berhubungan dengan orang-orang yang kurang waras,”

“Orang-orang gila lebih tepatnya.”

“Itu terlalu kasar, bung. Ah, terserahlah, tinggalkan  aku berdua dengannya,” pinta sang dokter. Semua orang dalam ruangan itu menurut dan meninggalkan kamar itu.

Sang dokter mencoba menenangkan pasien pertamanya itu. Berhasil. Dia mulai tenang dan mau bicara sekarang.

“Aku menolongnya karena ia seperti ibuku. Ibuku gila sepertinya dulu. Ibuku dikurung ayah! Aku menolongnya tapi ayah malah menganiayaku. Ibu akhirnya mati karna dikurung ayah. Ia hanya diberi makan seadanya. Aku merasa bersalah pada ibu, kalau wanita itu mati aku akan merasa bersalah lagi. Kupikir wanita itu akan menebus kesalahanku, ternyata ia persis ayah,” tutur pemuda itu layaknya seorang anak kecil yang sedang mengadu pada gurunya. Sang dokter mengangguk, mencoba memahami permasalahan pemuda ini.

“Anak bapak itu terluka parah! Anak ibu diseberang sungai sana juga hampir mati karena dicekik. Wanita itu gila dan liar. Siapapun cepat temukan dia, kasihan anak-anak!” terdengar teriakan warga dari luar rumah kepala desa. Namun tak beberapa lama, teriakan baru muncul.

“Dia ditemukan! Cepat seret dia, pasung lagi!”

“Ya, dia harus dipasung lagi!”

“Langsung bunuh saja! Nanti dia lepas lagi!”

“Buhuh, bunuh, bunuh, bunuh!”

Kepala desa keluar tergopoh-gopoh untuk memantau warganya yang sedang emosi. Dilihatnya wanita gila itu diseret-seret. Banyak luka ditubuh wanita itu, sepertinya sudah dihakim terlebih dahulu oleh warga.

“LEPASKAN!!” wanita itu meronta-ronta berusaha melepaskan tali yang sudah diikatkan warga epadanya. “Anakku mana? Mana dia?!!”

“Bawa dia kesungai! Hanyutkan!”

“Ya, hanyutkan dia! Hanyutkan, hanyutkan, hanyutkan!!” warga kembali bersahut-sahutan. Emosi mereka ternyata sudah meledak-ledak terhadap wanita yang mengalami masalah kejiwaan ini.

“Warga, tenanglah! ini bisa diselesaikan baik-baik kan?” sang dokter menahan para warga yang sedang mengamuk.

“Hah! Orang baru didesa ini bisanya hanya ikut campur saja! Kau tahu anaknya Pak Pincang? Dia mati karena wanita itu mencekiknya ketika bermain,” sahut seorang berbadan hitam legam –sepertinya dalang dari kerusuhan ini-, ia berbicara sampai menampakkan urat-urat lehernya.

“Dia tidak mengerti, pak! Dia hanya..” belum selesai dokter itu bicara, omongannya dipotong oleh laki-laki hitam legam tadi.

“Diam! Atau kau mau bernasib seperti dia?” ancamnya. Sang dokter hanya menunduk. Ternyata atasan yang mengutus para dokter ke desa-desa telah salah memilih orang. Dokter ini payah.

Akhirnya warga sampai ditepian sungai. Dengan brutal mereka melempar wanita itu ke sungai.

“Hei, bagaimana kalau dia gentayangan?”

“Arwah anak Pak Pincang akan menyelamatkan kita,” warga mulai berpikir mistis.

Akhirnya wanita itu mati mengenaskan bahkan sebelum ia hanyut ke sungai. Kepalanya terbentur batu ketika warga melemparnya.

Tragis. Wanita itu mati dalam keadaan gila, sebelum sempat merasakan udara yang sebenarnya, sebelum sempat menemukan anaknya. Ntahlah, tapi kata warga desa dia telah menyusul anaknya.

Sementara dari kejauhan, seorang laki-laki muda menangis. Untuk kedua kalinya, dikarenakan wanita gila itu, ia mengeluarkan airmata sambil tersenyum. Awalnya ia sedih karna telah gagal menyelamatkan seseorang. Tapi akhirnya ia sadar dan bergumam sendiri.

“Maafkan aku umma. Ternyata idak ada orang yang sama sepertimu. Tunggulah, aku akan menjengukmu disana. Tunggulah umma, aku akan pulang.”


-----------------------------------------


Nahloh. Butuh komentarnya banget >.< apa ceritanya tanggung, gak selesai atau gimana? Mohon bantuannya~ *bow*


`

5 comments:

  1. nice..
    kalo aku jd gurumu aku kasih nilai 102 (?) tergantung yg lain juga sih ;p

    kalimat terakhir jungshin itu maksudnya mau bunuh diri atau pulang kampung?

    ReplyDelete
  2. merinding bacanya...mistis. tapi bagus, varu baca ff yang ceritanya begini.... nice ff

    ReplyDelete
  3. oh jungshiinnn ... ixixixix

    sepertinya mau bunuh diri nih .. eommanya kan udah mati
    tp kalo di gantung kayaknya juga gpp, toh cerpen nggak harus tamat
    moga dapet nilai bagus .. amin #khusyuq

    ReplyDelete
  4. huwaa eonideul, gomawooo *hug*

    eh iya, aku juga bingung mau jadiin dia bunuh diri atau sekedar pulang kampung --a

    kanti eonni: amin (?)

    sekali lagi gomawo udah pada baca :')

    ReplyDelete
  5. KEREEENNN !!! #caps diinjek jonghyun#
    baru pertama kali baca cerita kaya'gini :)
    semoga dapet nilai bagus ya chingu :)

    ReplyDelete

Cara komen (bagi yang kurang jelas):

1. Ketik komen kalian di kotak komentar.

2. Di samping 'Berikan komentar sebagai', klik Google (bagi yang menggunakan Blogspot) atau LiveJournal/Wordpress/AIM/TypePad/OpenID (bila kalian mempunyai akun disana)

3. Atau bagi yang tidak punya akun sama sekali / tidak mau ribet, klik NAME/URL (kosongkan URL bila tidak mau ditampilkan)

4. Klik 'Poskan komentar'